infokotamedan.com -Wanita Pekerja Seks (WPS) ditengarai mempercepat laju
pertumbuhan penderita HIV/AIDS di Kota Medan. Tapi, homoseksual
khususnya Lelaki Suka Lelaki (LSL) atau gay juga bisa menjadi penyebab
begitu juga dengan kaum waria. Apalagi, di Medan jumlah kaum gay sudah
mencapai 1.699 orang, sedangkan waria berjumlah 664 orang.
Dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Medan yang diterima Sumut Pos, Kecamatan Medan Kota menjadi wilayah subur gay dengan 295 orang. Di peringkat kedua ditempati Kecamatan Medan Sunggal dengan 245 gay, dan peringkat ketiga diduduki Medan Petisah dengan 208 gay. Untuk waria, Medan Baru menduduki tempat pertama dengan 161 waria. Medan Johor di posisi kedua dengan 134 warianya dan Medan Petisah di posisi tiga dengan 93 waria.
“Komunitas ini (gay) termasuk tertutup, namun ketika dipetakan jumlahnya 1.699 orang dengan profesi beraneka ragam. Banyak juga yang memiliki keluarga (anak-istri) namun memiliki pasangan gay,” terang L Marsudi Budi Utomo, Pengelola Program KPA Kota Medan, kemarin.
Kecenderungan gay dan waria menularkan HIV/AIDS ditekankan oleh oleh dr Yulia Maryani, selaku dokter praktik penanganan masalah infeksi menular seksual (IMS). “Kelompok gay cenderung melakukan hubungan seksual lewat anus (anal seks, Red). Seperti diketahui anus adalah tempat pembuangan yang banyak ditemui pembuluh darah di daerah sekitar anus. Sehingga dengan seksual yang rutin dilakukan lewat anus akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan luka pada bagian tersebut. Luka inilah yang nantinya akan menjadi pintu masuknya virus HIV melalui darah,” terang Yulia di ruang praktiknya, di kawasan Jalan Veteran Medan, Kamis (8/3).
Tidak hanya rentan tertular HIV, sambung Yulia, gay juga rentan terhadap penularan penyakit IMS, dan untuk diingat, seseorang yang terkena IMS memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi HIV. Bahkan, menurut Yulia dari pengalaman yang ditemui terhadap sejumlah pasiennya dari kelompok gay, banyak dari mereka yang tidak mengetahui jika mereka telah terinfeksi IMS maupun HIV. Akibat ketidaktahuan inilah yang akhirnya menyebarkan virus ke orang lain, apalagi para pelaku seks yang dominan berganti-ganti pasangan.
“Tidak ada cara lain untuk mencegah penularan IMS dan HIV melalui hubungan seksual kecuali dengan menggunakan kondom secara rutin dan harus benar-benar memperhatikan tentang cara penggunaannya agar tidak terjadi kesalahan,”ungkapnya.
Berangkat dari pengalaman praktiknya, Yulia mengakui, ada beberapa perbedaan prilaku seks antara gay dengan para waria. Meskipun sama-sama berhubungan dengan sesama jenis, namun untuk kelompok gay, masih sering menggunakan penisnya sesama pasangan secara bergantian ketika melakukan hubungan seksual. Bahkan tak jarang, sebagian gay ini juga memiliki isteri dan anak. “Namun, hal ini tidak akan dilakukan para waria. Selain tidak mau disebut sebagai seorang gay, para waria juga tidak akan menggunakan penisnya dengan sesama jenis saat melakukan hubungan seksual. Selain itu, waria juga mengakui jika dirinya murni seorang wanita dan tidak akan berpikir memiliki isteri apalagi anak meskipun keduanya tergolong kelompok homoseksualitas,” ungkap Yulia.
Selain itu, Yulia juga mengungkapkan jika sering menangani pasien yang terinfeksi IMS dan memiliki risiko besar tertular HIV, dari kalangan para pelajar. Dan biasanya para pelajar ini, menurut pengakuannya, cenderung sebagai pemuas nafsunya para gay atau sering disebut sebagai ‘kucing’. “Setidaknya sampai saat ini ada sekitar 25 pasien kita yang masih berstatus pelajar yang tengah berobat atas keluhan penyakit IMS yang dideritanya. Bahkan tak jarang mereka juga datang berobat ke klinik dengan menggunakan baju sekolah. Hal ini juga yang menjadi keprihatinan bagi kita, mengingat penyakit IMS memiliki risiko besar untuk terkena HIV,” ungkapnya.
Menurutnya, di Sumatera Utara jumlah gay tidak tertutup kemungkinan mengalami peningkatan. Bahkan kaum gay sudah semakin berani menampilkan diri secara terbuka ke khalayak. Gerakan yang dilakukan oleh kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) ini pun menjadi lebih terorganisir. Tak lain karena banyaknya dukungan dari foundation di luar negeri yang memperjuangkan kesamaan hak mereka.
Jika dilihat secara psikologi, kaum homoseksual (lesbian dan gay), khususnya yang mengacu pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual) yang dipublikasikan oleh American Psychiatry Association (Asosiasi Psikiater Amerika) yang merupakan buku panduan dalam menegakkan diagnosa, bahwa homoseksual tidak lagi dianggap sebagai abnormalitas.
“Dengan demikian mereka sudah dianggap normal. Ada banyak penyebab homoseksualitas. Biasanya para gay belajar dari pengalaman seksual pertama yang mereka alami. Jika pengalaman seksual pertama yang menyenangkan itu dengan sesama jenis, maka mereka cenderung akan menikmati hubungan tersebut dan menjadi homoseksual,” tambah Irna Minauli.
sumber : hariansumutpos.com
Dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Medan yang diterima Sumut Pos, Kecamatan Medan Kota menjadi wilayah subur gay dengan 295 orang. Di peringkat kedua ditempati Kecamatan Medan Sunggal dengan 245 gay, dan peringkat ketiga diduduki Medan Petisah dengan 208 gay. Untuk waria, Medan Baru menduduki tempat pertama dengan 161 waria. Medan Johor di posisi kedua dengan 134 warianya dan Medan Petisah di posisi tiga dengan 93 waria.
“Komunitas ini (gay) termasuk tertutup, namun ketika dipetakan jumlahnya 1.699 orang dengan profesi beraneka ragam. Banyak juga yang memiliki keluarga (anak-istri) namun memiliki pasangan gay,” terang L Marsudi Budi Utomo, Pengelola Program KPA Kota Medan, kemarin.
Kecenderungan gay dan waria menularkan HIV/AIDS ditekankan oleh oleh dr Yulia Maryani, selaku dokter praktik penanganan masalah infeksi menular seksual (IMS). “Kelompok gay cenderung melakukan hubungan seksual lewat anus (anal seks, Red). Seperti diketahui anus adalah tempat pembuangan yang banyak ditemui pembuluh darah di daerah sekitar anus. Sehingga dengan seksual yang rutin dilakukan lewat anus akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan luka pada bagian tersebut. Luka inilah yang nantinya akan menjadi pintu masuknya virus HIV melalui darah,” terang Yulia di ruang praktiknya, di kawasan Jalan Veteran Medan, Kamis (8/3).
Tidak hanya rentan tertular HIV, sambung Yulia, gay juga rentan terhadap penularan penyakit IMS, dan untuk diingat, seseorang yang terkena IMS memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi HIV. Bahkan, menurut Yulia dari pengalaman yang ditemui terhadap sejumlah pasiennya dari kelompok gay, banyak dari mereka yang tidak mengetahui jika mereka telah terinfeksi IMS maupun HIV. Akibat ketidaktahuan inilah yang akhirnya menyebarkan virus ke orang lain, apalagi para pelaku seks yang dominan berganti-ganti pasangan.
“Tidak ada cara lain untuk mencegah penularan IMS dan HIV melalui hubungan seksual kecuali dengan menggunakan kondom secara rutin dan harus benar-benar memperhatikan tentang cara penggunaannya agar tidak terjadi kesalahan,”ungkapnya.
Berangkat dari pengalaman praktiknya, Yulia mengakui, ada beberapa perbedaan prilaku seks antara gay dengan para waria. Meskipun sama-sama berhubungan dengan sesama jenis, namun untuk kelompok gay, masih sering menggunakan penisnya sesama pasangan secara bergantian ketika melakukan hubungan seksual. Bahkan tak jarang, sebagian gay ini juga memiliki isteri dan anak. “Namun, hal ini tidak akan dilakukan para waria. Selain tidak mau disebut sebagai seorang gay, para waria juga tidak akan menggunakan penisnya dengan sesama jenis saat melakukan hubungan seksual. Selain itu, waria juga mengakui jika dirinya murni seorang wanita dan tidak akan berpikir memiliki isteri apalagi anak meskipun keduanya tergolong kelompok homoseksualitas,” ungkap Yulia.
Selain itu, Yulia juga mengungkapkan jika sering menangani pasien yang terinfeksi IMS dan memiliki risiko besar tertular HIV, dari kalangan para pelajar. Dan biasanya para pelajar ini, menurut pengakuannya, cenderung sebagai pemuas nafsunya para gay atau sering disebut sebagai ‘kucing’. “Setidaknya sampai saat ini ada sekitar 25 pasien kita yang masih berstatus pelajar yang tengah berobat atas keluhan penyakit IMS yang dideritanya. Bahkan tak jarang mereka juga datang berobat ke klinik dengan menggunakan baju sekolah. Hal ini juga yang menjadi keprihatinan bagi kita, mengingat penyakit IMS memiliki risiko besar untuk terkena HIV,” ungkapnya.
Homoseksual Jadi Life Style
Menariknya, soal gay kini tidak sekadar orientasi seks semata. Hal ini diungkapkan Direktur Biro Psikologi PERSONA, Irna Minauli. “Cukup mengkhawatirkan! Sekarang perilaku homoseksual dianggap sebagai trend atau life style karena mengikuti gaya hidup para selebritis, misalnya Ricky Martin yang menikah dengan seorang dokter yang tampan,” ujarnya.Menurutnya, di Sumatera Utara jumlah gay tidak tertutup kemungkinan mengalami peningkatan. Bahkan kaum gay sudah semakin berani menampilkan diri secara terbuka ke khalayak. Gerakan yang dilakukan oleh kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) ini pun menjadi lebih terorganisir. Tak lain karena banyaknya dukungan dari foundation di luar negeri yang memperjuangkan kesamaan hak mereka.
Jika dilihat secara psikologi, kaum homoseksual (lesbian dan gay), khususnya yang mengacu pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual) yang dipublikasikan oleh American Psychiatry Association (Asosiasi Psikiater Amerika) yang merupakan buku panduan dalam menegakkan diagnosa, bahwa homoseksual tidak lagi dianggap sebagai abnormalitas.
“Dengan demikian mereka sudah dianggap normal. Ada banyak penyebab homoseksualitas. Biasanya para gay belajar dari pengalaman seksual pertama yang mereka alami. Jika pengalaman seksual pertama yang menyenangkan itu dengan sesama jenis, maka mereka cenderung akan menikmati hubungan tersebut dan menjadi homoseksual,” tambah Irna Minauli.
sumber : hariansumutpos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar